K.H.
ABDUL HALIM
K.H.Abdul Halim adalah salah seorang pejuang kemerdekaan bangsa yang berasal dari Jawa Barat dan mempunyai andil besar dalam mempersiapkan kelahiran Republik Indonesia. Tokoh Ummat Islam ini adalahi anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia). Atas jasa pengabdian sebagai salah satu pendiri Republik ini KH.Abdul Halim kemudian memperoleh tanda kehormatan BINTANG MAHAPUTERA UTAMA dari Presiden Republik Indoensia.
Abdul Halim lahir tanggal 26 Juni
1887 di Desa Sutawangi, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka Jawa Barat. Ia adalah
putera bungsu KH.Iskandar dan Nyi Hj.Siti Mutmainnah, dari tujuh saudara. Latar
belakang keluarga beliau memang dikenal taat dalam beragama, bahkan ibunya
masih keturunan dari Sultan Syarif Hidayatullah. Oleh karena itu, tidak
mengherankan jika pendidikan yang menyangkut pelajaran agama Islam, sudah
didapatinya sejak usia dini, dan pada usia 21 tahun setelah tamat belajar dari
berbagai pesantren di Majalengka pada tahun 1908, beliau menunaikan ibadah haji
lalu menetap di Mekah sambil menambah wawasan keilmuan.
Aktivitas KH.Abdul Halim
Sepulang dari Mekkah, ia mendirikan
sebuah organisasi yang diberi nama Majlisul Ilmi. Dengan wadah ini ia giat
berjuang dalam pengembangan penyiaran ajaran Islam. Setahun kemudian (1912)
KH.Abdul Halim menyempurnakan Majlisul Ilmi menjadi organisasi yang lebih besar
dengan nama Hayatul Qulub yang aktivitasnya disamping berupaya meningkatkan
kualitas pendidikan juga mendorong kegiatan ekonomi rakyat terutama dalam
menghadapi persaingan pengusaha asing yang menguasai pasar juga melawan
penindasan Belanda terhadap rakyat yang memeras tenaga mereka. Hayatul Qulub
memelopori berdirinya perusahaan percetakan, pembangunan, pabrik tenun serta
pengembangan usaha-usaha pertanian . Suatu hal yang menarik adalah penerapan
sistem pemilikan saham-saham perusahaan bagi guru-guru yang aktif mengajar. Di
bidang sosial-kemasyarakatan, KH.Abdul Halim mendirikan rumah yatim piatu
Fatimiyah.
Organisasi Hayatul Qulub tidak
berumur panjang karena ditutup oleh pemerintah Belanda dengan alasan menganggu
keamanan. Akan tetapi KH.Abdul Halim tetap gigih dan tidak pernah menyerah
kegiatan-kegiatan perjuangannya tetap berjalan.
Baru pada tahun 1916 berdiri organisasi dengan nama Perikatan Oelama (PO) sebagai pengganti Hayatul Qulub. Tahun 1924 Perikatan Oelama semakin berkembang dan hampir menjangkau ke seluruh wilayah Jawa dan Madura. DI tahun 1939 organisasi sosial-pendidikan ini telah menjangkau hampir seluruh wilayah Indonesia.
Baru pada tahun 1916 berdiri organisasi dengan nama Perikatan Oelama (PO) sebagai pengganti Hayatul Qulub. Tahun 1924 Perikatan Oelama semakin berkembang dan hampir menjangkau ke seluruh wilayah Jawa dan Madura. DI tahun 1939 organisasi sosial-pendidikan ini telah menjangkau hampir seluruh wilayah Indonesia.
Salah satu kegiatan yang menonjol
adalah program pertolongan kepada para pelajar dengan membentuk I’anatul
Muta’allimin. Antara tahun 1917-1920 telah dibangun 40 Madrasah, sebagian besar
di Jawa, dengan metode pengajaran modern, yang pada saat itu mendapat tentangan
dari berbagai pihak. Pada Kongres ke IX P.O., KH.Abdul Halim melahirkan ide
untuk membangun sebuah pondok Pesantren, dimana santri tidak saja belajar agama
tetapi juga dilatih berbagai kerajinan dan keterampilan. Ide ini mendapat
sambutan positif yang pada akhirnya berdiri pondok pesantren yang dikenal
dengan sebutan Santi Asromo
K.H.
AHMAD SANUSI
K.H. Ahmad Sanusi yang biasa dipanggil Ajengan Sanusi, lahir di Kewedanan Cibadak, Sukabumi pada tahun 1881 dan wafat di Pesantren Gunung Puyuh, Sukabumi tahun 1950. Sejak kecil beliau belajar ilmu agama dari ayahnya sendiri, K.H Abdurrahim, pemimpin Pesantren Cantayan di Sukabumi. Selanjutnya ia belajar dari pesantren ke pesantren di daerah Jawa Barat. Pada tahun 1904 K.H. Ahmad Sanusi berangkat ke Mekkah untuk memperdalam ilmu agama. Sewaktu beliau bermukim di Mekkah pada tahun 1913, K.H. Ahmad Sanusi diajak untuk masuk menjadi anggota SI. Sejak itulah K.H. Ahmad Sanusi menjadi anggota SI.
Sekembalinya ke tanah air pada tahun 1915, beliau membantu ayahnya membina Pesantren Cantayan sambil membina para ulama. Kemudian tahun 1922 K.H. Ahmad Sanusi mendirikan pesantren Genteng Babakan Sirna, Cibadak, Sukabumi. Dalam menyampaikan dakwah, K.H. Ahmad Sanusi mempunyai metoda yang keras, radikal, tegas, dan teguh pendirian. Beliau merombak cara belajar santri dengan duduk tengkurap (ngadapang) diganti dengan duduk di bangku dan meja dan diterapkan sistim kurikulum berjenjang (klasikal).
Pada bulan Nopember 1926 meletus
pemberontakan di Jawa Barat yang dikenal sebagai Gerakan Syarikat Islam (SI)
Afdeeling B yang merupakan perlawanan rakyat jelata terhadap pemerintah
kolonial Belanda. K.H. Ahmad Sanusi bersama santri-santri Pesantren Genteng
Babakan Sirna dituduh terlibat dalam pemberontakan tersebut, sehingga beliau
ditangkap dan masuk penjara di Sukabumi 6 bulan dan di Cianjur 7 bulan.
Kemudian pada tahun 1927 beliau diasingkan oleh pemerintah Belanda ke Tanah
Tinggi, Jakarta selama 7 tahun (1927-1934). Dalam pengasingannya, K.H. Ahmad
Sanusi tetap terus berdakwah menyebarluaskan ilmunya dengan giat dan istiqomah,
sehingga seluruh masjid yang ada di Jakarta masa itu sempat dikunjungi dan
bertabligh.
Beliau juga menulis buku-buku dan
siaran-siaran (buletin) tentang ilmu keislaman serta Karya yang paling
menonjiol adalah Raudhatul Irfan . berisi terjemah Al-Quran 30 juz dalam bahsa
Sunda, dengan terjemah kata- per- kata dan syarah (tafsir penjelasa) singkat.
Tafsir ini telah dicetak ulang berpuluh kali dan sampai sekarang masih
digunakan di Majlis-majlis Ta’lium di Jawa Barat. Karya monumental lainnya
adalah serial Tamsyiyyatul Muslimin, tafsir Al-Quran dalam bahasa Melayu
/Indonesia. Setiap ayat-ayat al-Quran disamping ditulis dalam huruf Arab juga
ditulis (transliterasi) dalam huruf Latin. Pada waktu itu banyak ulama
memandang hal itu sebagai suatu bid’ah yang haram, sehingga menjadi perdebatan.
Melalui pemahaman ummat Islam terhadap Al-Quran, serial tafsir itu sarat dengan
pesan-pesan tentang pentingnya harga diri, persamaan, persaudaraan dan
kemerdekaan di kalangan ummat.
Pada tahun 1931 masih dalam masa pembuangan, K.H. Ahmad Sanusi mendirikan perhimpunan “Al-Ittihadiyatul Islamiyah” (AII) yang bergerak dalam sosial pendidikan sekaligus wadah pergerakan nasional untuk menanamkan harga diri, persamaan, persaudaraan dan kemerdekaan yang Pada tahun 1934 K.H. Ahmad Sanusi dikembalikan oleh pemerintah Belanda ke Sukabumi dengan status tahanan kota selama 5 tahun, Kedudukan Pengurus Besar AII pun dipindahkan ke Sukabumi. Pada tahun itu juga, K.H. Ahmad Sanusi mendirikan Pesantren Gunung Puyuh di Sukabumi yang masih berjalan sampai sekarang.
Pada tahun 1931 masih dalam masa pembuangan, K.H. Ahmad Sanusi mendirikan perhimpunan “Al-Ittihadiyatul Islamiyah” (AII) yang bergerak dalam sosial pendidikan sekaligus wadah pergerakan nasional untuk menanamkan harga diri, persamaan, persaudaraan dan kemerdekaan yang Pada tahun 1934 K.H. Ahmad Sanusi dikembalikan oleh pemerintah Belanda ke Sukabumi dengan status tahanan kota selama 5 tahun, Kedudukan Pengurus Besar AII pun dipindahkan ke Sukabumi. Pada tahun itu juga, K.H. Ahmad Sanusi mendirikan Pesantren Gunung Puyuh di Sukabumi yang masih berjalan sampai sekarang.
Pada zaman pendudukan Jepang, tahun
1943 beliau diangkat sebagai penasihat pemerintah Keresidenan Jepang, suatu
syarat agar AII bisa dihidupkan setelah dibekukan Pemerintah Jepang
bersama-sama seluruh organisasi kemasyarakat lainnya. Pada tahun 1944 beliau
diangkat sebagai Wakil Residen Bogor. Selanjutnya ditunjuk menjadi anggota
Badan Pneyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia.
Sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang dibentuk segera setelah Proklamasi 17-8-1945, beliau ikut berhijrah ke Yogya. Setelah kembali ke Sukabumi, pada tahun 1950, Ajengan K.H.Ahmad Sanusi, berpulang ke hadirat Ilahi. Pemerintah Indonesia mengakui jasa-jasanya sebagai salah seorang pendiri Republik Indonesia dengan menganugerahkan Bintang Maha Putera Utama kepada Almarhum.
Sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang dibentuk segera setelah Proklamasi 17-8-1945, beliau ikut berhijrah ke Yogya. Setelah kembali ke Sukabumi, pada tahun 1950, Ajengan K.H.Ahmad Sanusi, berpulang ke hadirat Ilahi. Pemerintah Indonesia mengakui jasa-jasanya sebagai salah seorang pendiri Republik Indonesia dengan menganugerahkan Bintang Maha Putera Utama kepada Almarhum.
0 komentar:
Posting Komentar